Suatu waktu aku pernah terpikir. Mungkin orang yang sering terlihat bahagia bukanlah orang yang hidupnya selalu mudah dan indah. Orang yang paling sering terlihat bahagia bisa jadi justru merupakan orang yang telah melalui banyak kehilangan dan kekecewaan. Saking seringnya ia mendapat kepahitan, tibalah waktu dimana ia merasa bahwa kehilangan dan kekecewaan itu kini terasa biasa saja. Terlalu terbiasa, sampai ia berpikir bahwa jika ia terlalu banyak menggunakan rasa maka ia tidak akan bisa bahagia sampai akhir hayatnya. Maka saat itulah ia putuskan untuk belajar bersyukur dan menciptakan bahagianya sendiri.
Untuk merasakan bahagia rupanya kita harus mampu untuk bisa belajar melambat, melepaskan, dan hadir. Gelas yang terlalu terisi penuh akan sulit untuk menampung informasi-informasi yang detail namun penting untuk hidup kita, bahkan membuat kita kesulitan dalam membuat keputusan-keputusan yang bijak. Ada baiknya untuk mengosongkan sejenak pikiran kita, dan beristirahat dari rutinitas yang terlalu menstimulus dan mendikte. Lalu lepaskan hal-hal yang sebetulnya tidak terlalu berpengaruh terhadap tercapainya tujuan besar kita. Hadirlah pada waktu-waktu berharga yang telah dikaruniakan oleh sang Pencipta. Hingga kita sadar akan aroma yang kita hirup, tekstur yang kita raba, dan rasa yang kita kecap. Hingga akhirnya di satu titik kita pun sadar, diri kita ini sebetulnya sedang berada di posisi apa dan berada di sebelah mananya pada jalan menuju tujuan besar kita. Dalam arti lain kita akan sadar bagaimana seharusnya kita memposisikan diri pada setiap keadaan yang kita hadapi. Dalam arti lain bisa disebut juga dengan kesadaran diri. Maka dengan demikian kebahagiaan bisa dengan mudah kita rasakan, karena kita sudah lebih mengenal diri sendiri berikut menyadari bahwa tidak butuh hal yang rumit untuk bisa bersyukur dan berbahagia.


Leave a comment