mrs Kiki Aditya

living Slowly Simply and Happily


Somebody’s Pleasure

Published by

on

Selamat pagi matahari yang hangat dan cerah. Dedaunan yang hijau menyegarkan, berayun lembut membawa kesejukan. Selamat pagi manusia-manusia tersibuk yang berlalu lalang mengejar tujuan. Hatiku cukup luas untuk menerima nikmat pagi ini. Langkanya saat-saat seperti ini membuatku ingin menghentikan sejenak segala perjalanan, meski tidak bisa berlama-lama, hanya sekedar singgah menyandarkan bahu yang lunglai.

Aku bukan datang dari bangun pagi yang damai menuju ke tempat piknik di taman bunga. Pagiku cukup membuat kemelut di hati dan pikiran, menyisakan kesal dan sesal hingga saat ini. Biasalah, bukan Ibu rumah tangga namanya kalau tidak sering kesal dengan segala drama di pagi hari. Namun, bagaimanapun aku di sini sekarang, mencoba menikmati hal-hal yang masih bisa dinikmati.

Di satu sudut ruang yang terasa sejuk dan terlihat hangat, aku duduk menghabiskan waktu sambil menunggu anakku pulang sekolah. Tahukah? aku yang berada di tempat berbeda, waktu yang berbeda, pernah merasa singgah di ruang pikiran yang sama, walau saat itu kondisiku sama sekali tidak sama. Saat itu mataku sembab, hatiku sulit bukan karena kesibukan di pagi hari melainkan sulit karena tekanan dan susah hati bertubi-tubi. Saat itu tak pernah terbayang akan berada di situasi seperti saat ini sedikit pun. Tidak pernah. Aku pikir masa depanku akan terus merana (tepuk jidat).

Walaupun suka menikmati waktu sendirian, namun aku bukan introvert. Dan walaupun suka tenggelam dalam pikiran sendiri, namun aku bukanlah orang yang perasa, atau baperan. Jadi, jika suatu saat aku terluka, bisa jadi bukan diakibatkan oleh masalah biasa yang wajar terjadi. Namun, mungkin karena aku telah terpaksa/dipaksa untuk menerima hal-hal yang tidak wajar, baik dalam pikiran maupun prinsip-prinsip hidup yang aku yakini benar. Aku bisa gusar jika ada hal-hal yang tidak jelas, tidak konsisten, dan membingungkan terjadi, terlebih jika aku dipaksa/terpaksa untuk menerima dan menganggap bahwa yang telah terjadi adalah wajar apa adanya.

Dulu kupikir aku akan hidup sendirian seumur hidupku. Setidaknya bertahun-tahun yang lalu itulah yang sempat terpikirkan atau terlintas dalam pikiranku. Kupikir akulah sumber masalah dari setiap penderitaan dan ujian yang kuterima selama bertahun-tahun aku hidup di dunia. Kupikir akulah yang bodoh dan tidak cukup bijaksana dan cerdas untuk memahami semuanya. Kupikir akulah yang salah dan hobi mempersulit hidupku, sampai-sampai pada satu waktu aku pernah memutuskan untuk lebih baik menjalani hidup sendirian saja daripada membuat orang-orang di sekelilingku hancur. Namun, di kemudian hari barulah aku tahu bahwa pikiranku selama ini keliru.

Aneh tapi nyata, terlepas dari apa yang kurasakan, jika kau tanyakan saat ini kepadaku tentang hal-hal berkesan yang kuingat dari sejak ku kecil, aku bisa menyebutkan puluhan, atau bahkan ratusan kenangan. Dulu kupikir memang masa kecilku menyenangkan, bahwa orang-orang di sekitarku begitu menyenangkan sehingga meninggalkan kesan yang tersimpan di ingatanku. Namun, ternyata lagi-lagi aku keliru tentang ingatanku.

Rupanya begitu banyak kenangan berkesan dari masa kecilku, tapi tidak satu pun menceritakan tokoh-tokoh yang hadir saat itu. Justru jika kau tanyakan perasaanku tentang orang-orang yang hadir dari kehidupanku sejak kecil, rupanya aku lebih banyak merasa sakit dan terluka. Lalu, rupanya kebahagiaan dari kenangan masa kecilku itu bisa hadir lebih karena aku telah berhasil menyelamatkan hidupku dengan membangun pikiranku sendiri saat itu. Misalnya, aku merindukan jongkok di pojok teras depan rumah nenekku sambil menatap pot-pot bunga dan merasakan lembutnya dedaunan mengusap pipiku yang saat itu basah dengan air mata, sambil menahan sakit di perutku menahan rasa ingin BAB.

Aku merindukan dulu saat pulang sekolah aku bergegas masuk ke kamarku tanpa terlihat siapapun saat itu, terutama adik-adikku. Lalu aku masuk kamar, mengunci pintu, dan saat duduk di tempat tidur kukeluarkan buku-buku komik sewaan serta jajanan-jajanan dari kantin sekolah. Yang kuingat, aku hanya punya waktu hingga Ibuku pulang kerja, untuk aku dapat larut dan cekikikan sambil membaca buku-buku yang kusewa dari perpustakaan dekat sekolah dan rumahku. Setelah selesai membaca dan makan jajanan-jajananku, aku simpan semua dengan rapi dan agar jangan sampai meninggalkan jejak sedikitpun.

Aku merindukan menatap ke luar jendela dan menikmati musik yang mengalun dari mobil Ayahku. Ajaibnya, aku selalu berhasil melakukannya. Mempertahankan keindahan pemandangan di luar jendela dan indahnya musik yang mengalun, dengan mengabaikan suara adik-adikku yang rewel dan muntah-muntah, serta mangabaikan kondisi Ibuku yang sedang perang dingin dengan Ayahku. Mengabaikan maki-makian dari mulut Ayahku yang sambil mengendarai mobil seperti orang kerasukan. Mengabaikan asisten-asisten Ibuku yang ikut berjejalan dengan kami di dalam mobil tertidur beserta air liur mereka yang menetes, dan mungkin mengenai baju di bagian pundakku. Lebih dari itu, aku berhasil mengabaikan fakta bahwa kami memiliki kemungkinan lebih dari 61% untuk mengalami kecelakaan lalu lintas. Karena sepanjang penglihatanku tidak jarang orang menyumpah serapah setiap kali kendaraan kami melewati mereka. Aku berjuang keras untuk mengabaikan hal-hal yang tidak baik untukku, dan bersabar menikmati hal-hal kecil apapun yang bisa kunikmati saat itu. Jadi, wajar saja apabila dalam perjalanan kehidupanku setelahnya, saat aku mendengar orang-orang menasehatiku untuk banyak-banyak bersyukur, lalu aku bukannya senang malah kesal bukan kepalang. Wajar. Karena menurut pandanganku, orang yang menyuruhku bersyukur itu, bahkan mungkin tidak pernah melakukan setengah dari kesabaranku.

Tahukah mantra apa yang selalu kuulang-ulang seperti pemutar rekaman di otakku setiap kali aku dihadapkan pada situasi yang kurang menguntungkan? “it’s oke Kiki, fokus, fokus, fokus pada solusi, tahan, tahan, self control is everything. Fokus pada solusi!” luar biasa, sedari kecil situasilah yang mengajarkanku untuk bertahan. Maka wajar, wajar jika siapapun baik itu dari pihak keluargaku maupun lingkungan pertemananku tidak ada yang menyadari atau mengetahui apa sebenarnya yang selama ini aku alami. Aku yang selama ini merasa sebagai alien yang tumbuh di dalam keluargaku sendiri, mencoba untuk terlihat setuju, terlihat ceria, terlihat tenang. Karena setiap kali aku mencoba jujur baik kepada Ayah maupun Ibuku, tidak ada sekalipun hal yang baik terjadi, yang ada malah menimbulkan masalah baru. Namun, aku mencoba bertahan, aku merasa seperti nelayan terombang-ambing di perahu tua miliknya, namun memilih untuk mengarungi arus dan bertahan agar tidak tenggelam. Sambil berharap suatu saat nanti perahuku dan tenagaku sudah cukup kuat, aku akan mengayuh sekuat tenaga untuk berlayar ke tempat yang kuimpikan selama ini.

Leave a comment